Fitnes Addict Pada Wanita

Kamis, 28 Oktober 2010


 
Ini adalah salah satu contoh wanita yang termasuk kedalam Fitness Addict atau mereka yang smenyukai secara berlebihan dalam hal angkat beban dan olahraga otot. Secara genetik dan hormon wanita memang sulit untuk mendapatkan otot yang kekar layaknya seorang laki- laki. Namun dengan kemaajuan teknologi khususnya dibidang suplemen dan pola latihan yang ketat dan disiplin, wanita juga akhirnya mampu untuk memiliki tubuh kekar seperti laki – laki. Jadi, apakah sudah sewajarnya kita menyebut wanita dalam foto ini sebagai wanita berotot atau wanita perkasa ? haha, itu tergantung penilaian anda.

Anakku Korban Perceraian

Selasa, 12 Oktober 2010


Menurut Dra Maryam Rudiyanto (dalam Gunarsa, 2006), perceraian yang terjadi antara orang tua paling dirasakan akibatnya oleh anak. Anak-anak ini akan mengalami masalah emosional, penyesuaian diri dan dalam mengekspresikan perasaannya. Bagi anak wanita, melalui ayah ia memperoleh nilai-nilai hubungannya dengan laki-laki di masa yang akan dating. Apabila ia memiliki gambaran yang buruk tentang ayahnya, tentu ia akan mengalami gangguan dalam membina hubungan dengan calon suaminya di masa yang akan datang. Sebaliknya, bila ia menganggap ibunya tidak baik, maka mereka akan kehilangan kepercayaan kepadanya dan pada semua kaum wanita pada umumnya.
Dra. Maryam Rudiyanto (dalam Gunarsa, 2006) menambahkan bahwa suasana yang ditimbulkan akibat perceraian akan mempengaruhi rasa aman seorang anak. Anak akan merasakan kurangnya kasih sayang dan perlindungan dari kedua orang tuanya. Padahal, anak masih masih memerlukan ayah dan ibu untuk menemani dan memberi perhatian kepadanya.
Kurang lebih setengah dari kasus perceraian dalam keluarga melibatkan anak-anak. Menurut Seccombe dan Warner (2004), akibat perceraian pada anak dapat dibagi menjadi:.
a)      Akibat jangka pendek
a)      Ikut terlibat dalam konflik antar orangtua. Anak seringkali menjadi senjata untuk menyakiti pasangan yang lain atau dimanfaatkan untuk memperoleh informasi dari pihak berlawanan. Oleh karena itu anak tidak akan mengalami masalah emosional dan perilaku bila kedua orangtua saling mengontrol diri di hadapan anak.
b)      Menghadapi rasa kehilangan salah satu orangtua. Biasanya proses perceraian membuat anak harus tinggal bersama salah satu orangtua saja, umumnya dengan ibu. Akibatnya, waktu untuk bersama orangtua yang lain menjadi berkurang dan mulai kehilangan figur mereka. Lebih dari 20 persen anak-anak bertemu dengan ayah mereka sekali setahun atau kurang, setengah dari mereka bertemu dengan ayahnya kurang dari sekali sebulan. Hanya 12 persen dari anak-anak yang dilaporkan bertemu ayahnya minimal beberapa kali dalam seminggu.
c)      Standar hidup berubah. Secara ekonomi, standar hidup menjadi berkurang sehingga berakibat pada kebutuhan sehari-hari, kegiatan liburan dan gaya hidup yang dijalani sebelumnya sudah tidak dapat dilakukan lagi.
d)     Harus menyesuaikan diri dengan perubahan yang ada, seperti pindah rumah, pindah sekolah, meninggalkan lingkungan yang sudah nyaman bagi anak.
b)     Akibat jangka panjang
Pada umumnya, 10 tahun setelah peristiwa perceraian, lebih dari sepertiga anak-anak masih merasa depresi dan memiliki masalah perilaku yang berkaitan dengan problem perceraian orangtua. Tetapi tidak semua anak-anak yang mengalami perceraian orangtua mengalami hal itu. Ada pula anak-anak yang mengalami sukses dalam hidup, mampu menyesuaikan diri dengan baik dan hidup bahagia walaupun orangtua mereka bercerai.
Faktor usia dan jenis kelamin juga mempengaruhi proses adaptasi. Perceraian biasanya lebih mempengaruhi anak-anak yang masih muda dan anak laki-laki cenderung lebih rentan dibandingkan anak perempuan. Anak laki-laki cenderung berprestasi lebih buruk di sekolah dibandingkan anak perempuan serta memiliki masalah perilaku seperti suka berkelahi, memiliki kecemasan, dan lain sebagainya. Namun hal itu cenderung terjadi pada anak laki-laki yang minim kontak dengan figur ayah.


Dampak Anak yang Dibesarkan Tanpa Figur Ayah


Idealnya, seorang anak dibesarkan dalam keluarga yang terdiri dari ayah dan ibu. Tetapi kadangkala keadaan "memaksa" seorang ibu membesarkan anak seorang diri. Meski si ibu sudah merawat dan memperhatikan si anak, tapi tetap saja ada dampak psikologis yang akan dialami oleh anak yang dibesarkan tanpa figur ayah, apa saja kah itu ?
Menurut Lifina Dewi, M.PSi, psikolog dari Universitas Indonesia, dampak psikologis yang dihadapi anak dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain kepribadian dan gender si anak, serta bagaimana penghayatan si ibu terhadap peran yang dijalaninya.
"Pada anak-anak yang memiliki sifat tegar atau cuek mungkin dampaknya tidak terlalu terlihat, tapi untuk anak yang sensitif pasti akan terjadi perubahan perilaku, misalnya jadi pemurung atau suka menangis diam-diam, hal ini biasanya terjadi pada anak yang orangtuanya bercerai," ujarnya.
Seorang anak laki-laki membutuhkan figur ayah untuk mempelajari hal-hal yang tidak dia dapatkan dari ibunya, begitu pun dengan anak perempuan, ada sesuatu yang dia butuhkan dari kehadiran figur ayah, misalnya bagaimana relasi interpersonal pria dan wanita.
"Setelah remaja atau dewasa, anak-anak ini mungkin saja tumbuh menjadi anak yang permisif, tertutup, pemalu atau justru agresif sekali pada lawan jenis," jelas Lifina. Untuk itu ia menyarankan agar si ibu memperkenalkan dan membiarkan si anak meluangkan waktu bersama pria yang riil, seperti kakek, paman atau teman-teman ibunya sehingga si anak tidak sepenuhnya kehilangan figur ayah.

Penghayatan si ibu
Kesiapan si ibu dalam menjalani perannya sebagai orangtua tunggal juga akan mempengaruhi bagaimana dia bersikap terhadap anaknya. Para ibu yang tidak siap dengan keadaan dan merasa terpaksa menjalaninya akan cenderung menyalahkan kehadiran si anak.
Belum lagi jika si ibu memiliki sifat pencemas dan mudah panik, hal ini tentu saja berpengaruh pada si anak, terlebih anak- anak masih memiliki keterbatasan kemampuan dalam berkomunikasi dan mengekspresikan perasaannya. Di sinilah diperlukan komunikasi terbuka dan kepekaan dari si ibu untuk menggali perasaan si anak dan mencari tahu apa kebutuhan anaknya.
Menjadi orangtua tunggal berarti harus siap menjadi tulang punggung keluarga, tak jarang karena ingin memenuhi kebutuhan finansial, seorang ibu bekerja terlalu keras sehingga tidak punya waktu lagi untuk anak-anaknya.
Jika si anak terlalu akrab dengan pengasuhnya dan menolak Anda peluk atau gendong, mungkin sudah saatnya Anda mengevaluasi kembali prioritas waktu yang Anda jalani selama ini. Memang diperlukan energi dan pengorbanan yang tidak sedikit untuk memastikan karir, kehidupan pribadi sekaligus kedekatan dengan anak tetap lancar. Tetapi bukankah anak adalah segalanya bagi seorang ibu ? Tak perlu berbohong Perlahan tapi pasti, Anda akan sampai pada satu titik di mana si anak akan mempertanyakan di mana ayahnya. Bagi ibu yang bercerai atau menjanda karena suaminya meninggal, tentu tidak akan terlalu sulit menjelaskan. Tetapi si ibu yang memang memilih tidak menikah tentu menghadapi dilema ketika harus menjelaskan pada si anak siapa ayah mereka sesungguhnya.
"Untuk menjawab pertanyaan si anak tentang asal-usulnya, sebaiknya si ibu menyesuaikan dengan usia si anak untuk mencerna," ungkap Lifina. Jika si anak masih balita, carilah media yang ia mengerti untuk masuk ke topik, misalnya saat menonton film animasi katakan, "Barnie dan Spongebob juga tidak punya ayah. Kamu tidak punya ayah, tapi punya mama, kakek, nenek serta om dan tante yang sayang sekali sama kamu."
Tak sedikit para single mom yang memilih melakukan white lie kepada anaknya dengan dalih akan menjelaskan secara jujur jika kelak si anak sudah dewasa. Namun, Lifina menyarankan agar si ibu berkata terus terang kepada anak. Akan lebih baik jika si anak mendengar langsung dari ibunya daripada mendengar bisik-bisik di lingkungannya.
Pihak sekolah juga bisa membantu memberi pemahaman kepada anak-anak bahwa yang dimaksud dengan keluarga tidak selalu terdiri dari ayah dan ibu. Lebih baik lagi jika anak bersekolah di sekolah yang heterogen sehingga ia makin terbiasa dengan perbedaan.
Seorang anak yang hanya dibesarkan oleh seorang ibu tetapi sang ibu secara konsisten merawat si anak dengan penuh kasih sayang dan tidak menelantarkannya kondisinya jauh lebih baik dibandingkan seorang anak yang besar dalam keluarga yang lengkap tetapi orangtuanya bertengkar setiap hari.


Dualisme Kepribadian Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP)

Selasa, 05 Oktober 2010


Soepomo, seorang anggota Satpol PP tewas dalam bentrokan di makam Mbah Priok pada 14 april lalu. Menurut keluarga, beliau adalah orang yang sangat sabar, suka menolong dan ramah kepada siapa saja. Ada juga seorang anggota Satpol PP yang perutnya ditikam oleh sekumpulan anak “punk” di daerah Margonda Raya, Depok. Menurut keluarga, ia adalah pemuda yang dikenal alim dan aktif sebagai remaja mesjid di kampungnya.
Boleh jadi seorang anggota satpol PP adalah seorang pemuda yang sopan santun dalam keluarga, baik hati dan polos. Atau mereka adalah seorang ayah yang sangat sabar dan sayang kepada keluarganya. Namun ketika mereka menggunakan pakaian dinas, mereka menjadi seorang yang berbeda. Kasar, pemarah, dan menyelesaikan sesuatu dengan cara kekerasan. Kira – kira, apa yang menyebabkan mereka menjadi seperti demikian?
Idealnya fungsi utama Satpol PP adalah untuk menjalankan perintah dari pemda setempat yang berhubungan dengan keamanan dan kenyamanan daerah tersebut. Namun belaknag fungsi tersebur berubah seperti “Preman” yang dilegalitaskan. Mereka sering dan kerap kali menyelesaikan masalah dengan cara represif. Mungkin penyebab utamanya adalah lingkungan. Manusia itu kadang seperti air yang selalu mengikuti wadahnya. Begitu pula para anggota Satpol PP ini. Seperti kita ketahui bersama, belakangan ini telah terjadi pergeseran moral pada masyarat Indonesia. Adat timur yang ramah, sabar, dan sopan seolah tinggal kenangan. Masyarat kita mudah sekali terpancing emosinya jika menghadapi masalah. Boleh jadi ketika anggota Satpol PP sedang menjalankan tugasnya mereka mendapat sambutan keras dari masyrakat yang akhirnya membuat mereka menjadi emosi juga.
Kesalahan juga terjadi pada pemerintah. Mereka tidak segera menindak anggota Satpol PP yang melakukan kekerasan. Mereka juga tidak tegas dalam menegakkan UU Satpol PP. Sosialisasi Pemda terhadap masyarakat juga kurang, sehingga kadang kita mendengar bahwa Satpol PP melakukan suatu pembongkaran paksa tanpa ada pemberitahuan sebelumnya.
Mungkin sudah saatnya terjadi perubahan pada birokrasi pemerintah. Mereka harus melakukan banyak sosialisasi dan pengarahan baik kepada masyatakat maupun anggota Satpol PP. Kurangnya pemahaman terhadap ajaran agama juga terkadang menjadi alasan mengapa kita sering bertindak kasar dan tidak manusiawi. Dengan diadakannya perubahan ini diharapkan  pada prakteknya dilapangan terjadi keselarasan. Kalaupun terjadi selisih, tidak akan sampai kepada perikaian atau bentrok yang memakan korban jiwa. Semoga kita mengembalikan citra Bangsa Indonesia sebagai bangsa timur yang beradab.